kisah nelayan dan mutiara

29 April 2007

NelayanCerita berikut ini fiktif. Saya mengetahuinya dari membaca entah di mana, saya lupa karena sudah lama sekali. Setting dan detail ceritanya juga lupa. Yang masih ada di ingatan saya kira-kira begini.
Pada suatu hari seorang nelayan yang sedang mencari ikan di laut menemukan sebuah mutiara yang sangat mahal harganya. Ia sangat bersuka cita dan tak sabar untuk segera pulang ke rumah. Dalam perjalanan pulang, ia membayangkan betapa kaya raya dirinya nanti. Segala hal yang diinginkannya akan bisa ia peroleh dari hasil penjualan mutiara itu. Rumah yang besar, mobil (atau kalau setting waktunya jaman dulu sekali berarti mungkin kereta kuda) yang mewah. Bahkan ia bisa mempersunting gadis yang paling cantik di desanya dan mengadakan pesta pernikahan yang paling meriah yang pernah ada.
Interupsi
1. Saya juga tahu tidak ada mutiara yang semahal itu. Tapi agar cerita tetap bisa dilanjutkan, abaikan saja common sense kita dalam hal ini.
2. Kalau saya jadi nelayan itu, akan saya tambahkan satu lagi keinginan: akses internet broadband di rumah.

Tiba-tiba muncul ketakutan dalam dirinya. Mutiara itu bisa menjadi sumber bencana! Bagaimana kalau nanti ia dirampok dan dibunuh gara-gara mutiara itu. Atau bagaimana kalau ia malah dituduh mencuri mutiara itu dan dijebloskan ke dalam penjara. Sejumlah ketakutan lain mulai terbayang pula.
“Aku sudah merasa cukup dengan hidup seperti ini. Mengapa pula harus mengambil resiko yang begitu besar hanya untuk mengejar keinginan duniawi yang belum tentu baik buatku?”, ia berkata pada dirinya sendiri.
Lalu ia memutuskan untuk membuang kembali mutiara itu.
Cerita berakhir sampai di sini. Pesan apa yang hendak disampaikan oleh pengarangnya? Apakah nelayan itu menggambarkan orang bodoh yang melewatkan suatu kesempatan yang datang kepadanya, atau justru nelayan itu adalah seorang bijak yang tidak mudah terperdaya oleh dunia?
Kita punya priviledge untuk menyimpulkannya sendiri.

Update:
Mungkin cerita ini hendak mengajarkan kepada kita bahwa butuh keberanian untuk mendapatkan sesuatu, karena memang segala sesuatu itu ada konsekuensinya.

pc fastlane's spoof: blue screen of death

25 April 2007

Sebuah artikel di PC Fastlane berjudul “Life Support System Running Windows ME Kills Patient” memberitakan bahwa seorang pria di Nevada dibawa oleh istrinya ke sebuah rumah sakit karena terkena serangan jantung. Dokter sebelumnya mengatakan bahwa sang suami akan baik-baik saja, namun kemudian terjadi suatu hal yang tak terduga, kegagalan sistem pada mesin life support membuat pria tersebut meninggal.
Menurut pengakuan sang istri kepada wartawan, ia sedang berada di ruangan tempat suaminya mendapatkan perawatan ketika hal itu terjadi. Tiba tiba saja layar monitor yang sebelumnya menunjukkan grafik berwarna hijau yang menunjukkan tanda-tanda vital, berubah menjadi biru dengan teks berwarna putih berisi peringatan IRQL not less or equal, lalu terdengar bunyi tit panjang. Atas perintah dokter, ia segera dibawa keluar oleh dua orang perawat pria berbadan besar, namun ia sempat mendengar seseorang berkata “Sudah kubilang kita seharusnya menggunakan Linux!” Ia menduga saat itu sebenarnya suaminya telah meninggal, tapi ketika ia bertanya mengenai apa yang terjadi, ia diberitahu bahwa suaminya baik-baik saja.
Belakangan diketahui bahwa ternyata mesin itu menggunakan Windows ME dan kasus kegagalan sistem itu bukan yang pertama kali terjadi sejak digunakannya sistem operasi itu beberapa tahun yang lalu. Namun itulah pertama kalinya yang menyebabkan pasien meninggal. Sebenarnya hal tersebut telah dilaporkan kepada Microsoft, tetapi belum mendapat tanggapan.
Juru bicara Microsoft yang dihubungi secara terpisah mengatakan, “Saya bahkan tidak mengetahui ada mesin pendukung kehidupan yang menggunakan Windows. Mungkin mereka seharusnya meng-upgrade-nya ke Windows XP atau Vista”.
Meski wanita itu telah mendapatkan permohonan maaf secara resmi dari fihak rumah sakit, ia belum mendapatkan kompensasi dari kecerobohan yang telah mengakibatkan suaminya meninggal itu. Menurut juru bicara rumah sakit, ia seharusnya menghubungi Microsoft Support karena kegagalan itu disebabkan oleh produk Microsoft. Lebih lanjut dikatakan bahwa masih dipertimbangkan oleh rumah sakit itu apakah selanjutnya akan menggunakan Linux atau akan mempercayakan keselamatan pasiennya pada kloning Windows yang dibuat oleh para hacker dari Rusia.
Saya baru sadar bahwa ternyata cerita ini hanyalah fiktif belaka.


ndeso

19 April 2007

Mungkin karena memang tampang saya yang ndeso, seorang manajer di kantor suatu saat tertarik untuk memastikannya.
“Mas, sampeyan wong ndeso?
Nggih, Pak”, saya memang berasal dari sebuah desa di lereng gunung Sumbing di Jawa Tengah.
Nek wong ndeso tenan kudu ngerti. Cobo, kae wit opo?”, tanya beliau sambil menunjuk pada tanaman dalam sebuah pot.
Wah, nopo nggih…
Saya sering melihat tanaman tersebut karena diletakkan bersama-sama dengan tanaman lain di lobi yang saya lewati tiap hari. Namun sayangnya tidak pernah terlintas di benak saya untuk berusaha mengetahui apapun tentangnya.
Lho, jare wong ndeso kok ra ngerti. Cobo Mbak, nek sampeyan ngerti ora?” Beliau kemudian mengalihkan pertanyaan itu kepada yang lain.
“Kopi nggih, Pak?”, jawab rekan saya tadi dengan santainya.
Iyo, bener. Piye, Mas. Nang ndesamu ora ono wit kopi, po?”, tanya beliau lagi.
Saya hanya bisa terdiam. Saya memang payah. Saya menyalahkan diri saya sendiri atas ketidaktahuan saya itu. Segera terbayang pohon kopi di kebun belakang rumah budhe saya. Yaaa…, bentuk daunnya memang sangat mirip. Masalahnya, saya tidak tahu kalau pohon kopi juga ditanam dalam pot. Why didn’t I think of it? Betapa bodohnya saya. Saya telah gagal dalam sebuah ujian yang seharusnya bisa menjadi legitimasi bagi jati diri saya. Sebuah ujian yang seandainya saya bisa lolos darinya saya akan benar-benar diakui sebagai wong ndeso!
Tapi saya telah gagal. Dan ironisnya, hal itu pun tidak serta merta menjadikan saya diakui sebagai orang kota, karena saya memang bukan orang kota, dan bahkan belum menjalani ujian untuk membuktikannya. Berarti, ada sebuah tanda tanya besar yang mengancam eksistensi saya di dunia ini.
Untuk hal yang sepenting ini, I think I deserve a second chance!