ndeso

19 April 2007

Mungkin karena memang tampang saya yang ndeso, seorang manajer di kantor suatu saat tertarik untuk memastikannya.
“Mas, sampeyan wong ndeso?
Nggih, Pak”, saya memang berasal dari sebuah desa di lereng gunung Sumbing di Jawa Tengah.
Nek wong ndeso tenan kudu ngerti. Cobo, kae wit opo?”, tanya beliau sambil menunjuk pada tanaman dalam sebuah pot.
Wah, nopo nggih…
Saya sering melihat tanaman tersebut karena diletakkan bersama-sama dengan tanaman lain di lobi yang saya lewati tiap hari. Namun sayangnya tidak pernah terlintas di benak saya untuk berusaha mengetahui apapun tentangnya.
Lho, jare wong ndeso kok ra ngerti. Cobo Mbak, nek sampeyan ngerti ora?” Beliau kemudian mengalihkan pertanyaan itu kepada yang lain.
“Kopi nggih, Pak?”, jawab rekan saya tadi dengan santainya.
Iyo, bener. Piye, Mas. Nang ndesamu ora ono wit kopi, po?”, tanya beliau lagi.
Saya hanya bisa terdiam. Saya memang payah. Saya menyalahkan diri saya sendiri atas ketidaktahuan saya itu. Segera terbayang pohon kopi di kebun belakang rumah budhe saya. Yaaa…, bentuk daunnya memang sangat mirip. Masalahnya, saya tidak tahu kalau pohon kopi juga ditanam dalam pot. Why didn’t I think of it? Betapa bodohnya saya. Saya telah gagal dalam sebuah ujian yang seharusnya bisa menjadi legitimasi bagi jati diri saya. Sebuah ujian yang seandainya saya bisa lolos darinya saya akan benar-benar diakui sebagai wong ndeso!
Tapi saya telah gagal. Dan ironisnya, hal itu pun tidak serta merta menjadikan saya diakui sebagai orang kota, karena saya memang bukan orang kota, dan bahkan belum menjalani ujian untuk membuktikannya. Berarti, ada sebuah tanda tanya besar yang mengancam eksistensi saya di dunia ini.
Untuk hal yang sepenting ini, I think I deserve a second chance!

0 comments: